Simalungun, Sumut – Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Sumatera Utara mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk segera mengusut dugaan keterlibatan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Simalungun dalam praktik mafia tanah yang kian meresahkan masyarakat. Sorotan tajam diarahkan pada pelaksanaan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang justru menjadi celah subur bagi korupsi, pungli, dan perampasan hak waris.
Disebutkan salah satu titik krusial terjadi di Huta III, Nagori Silakkidir, Kecamatan Huta Bayu Raja, Kabupaten Simalungun. Di wilayah ini warga mengungkapkan adanya dugaan kolusi terstruktur antara oknum pemerintah nagori, camat, hingga pihak BPN yang diduga telah mengeluarkan 62 sertifikat tanah tahun anggaran 2024–2025 tanpa pemberitahuan dan keterlibatan ahli waris yang sah.
“Sangat jelas ini kejahatan yang tidak berdiri sendiri, ada struktur, ada jaringan mereka memainkan celah program nasional untuk kepentingan pribadi,” Ucap R.Syahputra ketua DPD AKPERSI Sumut.
Dari hasil investigasi Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) serta banyaknya laporan masyarakat bahwa proses sertifikasi ini dikendalikan oleh Camat Huta Bayu Raja yang bernama Ferry Risdoni Sinaga dan rekannya Pangulu Silakkidir, Heplin Marpaung. Keduanya dituding sebagai aktor kunci dalam penguasaan lahan secara ilegal melalui manipulasi data, pembiaran administrasi palsu, hingga penyerobotan hak milik adat.
Lebih mirisnya lagi praktik ini dibarengi dengan pungutan liar dengan jumlah sampai dengan 8 juta rupiah hingga 33 juta rupiah per-sertifikat, jauh melampaui ketentuan resmi PTSL yang hanya 450 ribu rupiah. Bukti berupa kwitansi bermaterai dengan tanda tangan Pangulu ditemukan dalam jumlah signifikan, mengindikasikan pengumpulan dana ilegal yang diduga mencapai ratusan juta rupiah.
Warga bernama Jumigan Sinaga adalah korban langsung dari dugaan mafia tanah tersebut dia mengaku, tanah warisan milik keluarganya marga Panambean Siursa telah disertifikasi atas nama pihak lain tanpa sepengetahuan keluarga ahli waris.
“Kuburan ayah saya masih ada di situ, Ini tanah adat bukan milik Kaliamsa Sinaga seperti yang diklaim Camat dan Pangulu,” Jelas Jumigan.
Di katakan secara Fakta camat Ferry Risdoni sempat berjanji akan menyelesaikan sengketa ini secara kekeluargaan, namun tidak pernah terealisasi dan sebaliknya justru memperkuat dugaan bahwa camat turut menikmati hasil pungli dari proses sertifikasi bermasalah tersebut.
Dia, Pangulu Heplin Marpaung menuturkan kepada reporter mengungkapkan ada 305 bidang tanah yang diajukan, dan baru 62 bidang yang telah disertifikasi. 56 manual dan 6 elektronik namun masyarakat menilai proses ini dilakukan secara tertutup dan sarat manipulasi, memperlihatkan indikasi mafia tanah yang berlindung di balik prosedur administratif.
“Ini bukan hanya pelanggaran administrasi, tapi kejahatan terorganisir yang menghancurkan hak rakyat dan merusak program nasional,” Sambung Satam JM Salah Satu Anggota Pengurus AKPERSI.
AKPERSI Sumut mendorong Kejati Sumut, Kapolda Sumatra Utara, hingga Inspektorat Provinsi untuk segera turun tangan. Dugaan kolusi antara oknum pemerintahan Desa, kecamatan dan BPN harus dibongkar secara menyeluruh.
Kasus di Simalungun menjadi potret buram dan zona merah pelaksanaan PTSL yang seharusnya memberi kepastian hukum namun justru melahirkan ketidakadilan dan konflik sosial.
AKPERSI menyatakan, bila tidak ditindak tegas praktik mafia tanah ini akan merusak kepercayaan publik terhadap program agraria nasional.
“Negara harus hadir membela para korban, bukan membiarkan aparatnya menjelma menjadi predator hukum,” tutup ketua DPD Akpersi Sumut.