LABUHAN BATU, Adstimur.Sumsel.Today –Tindakan main hakim sendiri yang tidak terpuji (brutal) berujung pada tindakan kekerasan yang di lakukan puluhan debt collector atau mantel (Mata Elang) dari perusahaan pembiayaan ACC Finance Rantauprapat kembali meresahkan dan memicu kegaduhan publik.
Dalam rekaman video yang beredar di media sosial, tampak sejumlah pria berpakaian preman menyerang dua orang wartawan di depan kantor Astra Credit Companies (ACC), Jalan Sisingamangaraja, Labuhan Batu, Sumatera Utara pada 18 September 2025 lalu.
Insiden tersebut bermula ketika dua orang wartawan mendatangi lokasi untuk mengkonfirmasi masalah terkait penyitaan kendaraan yang diduga kuat dilakukan tanpa prosedur hukum yang sah, alih-alih memberikan keterangan para oknum debt collector justru melampiaskan dengan menyerang brutal yang mengakibatkan timbulnya kekerasan pada fisik.
Di himpun dari berbagai sumber yang menjadi korban tindakan main hakim sendiri oleh oknum MATEL yaitu Andi Putra Jaya Zandroto dari media Satgasus Mitramabesnews.id dan rekannya Ahmad Idris Rambe selaku Pimpinan Redaksi Radarkriminaltv.com.
Setelah mendapatkan perlakuan yang dapat mengancam nyawa seseorang dan serta berpotensi kehilangan kesehatan, kedua oknum wartawan tersebut langsung menghubungi layanan darurat 110 untuk meminta perlindungan kemudian keduanya melaporkan atas apa yang baru saja di alaminya ke Polres Labuhan Batu dengan di tuangkan dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL) Nomor: LP/B/1137/IX/2025/SPKT/POLRES LABUHANBATU/POLDA SUMATERA UTARA.
Lebih mendalam secara aturan bahwa upaya penarikan paksa bisa masuk ranah Pidana, sebelumnya Kapolri sudah menegaskan bahwa penarikan paksa kendaraan oleh debt collector merupakan tindak pidana.
Jika dilakukan di rumah debitur, bisa dikategorikan sebagai pencurian (Pasal 362 KUHP).
Jika dilakukan di jalan, masuk kategori perampasan (Pasal 368 atau Pasal 365 KUHP ayat 2, 3, dan 4).
Pernyataan ini sejalan dengan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019, yang menyebutkan bahwa eksekusi jaminan fidusia wajib melalui kesepakatan sukarela antara kreditur dan debitur. Jika ada penolakan, maka wajib ditempuh jalur pengadilan.
Ketua DPD Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) Sumut Kh. Rony Syahputra C.BJ, C.EJ, menyampaikan mengecam keras dan mengutuk atas insiden yang terjadi.
"Kriminalisasi terhadap wartawan sama artinya dengan membunuh kebebasan pers. UU No. 40/1999, sudah jelas melindungi kerja jurnalistik dan aparat penegak hukum (APH) Labuhan Batu jangan berlama-lama dalam penanganan kasus ini. Tindakan tegas harus segera dilakukan dan kami akan terus mengawal hingga keadilan benar-benar ditegakkan," ucapnya.
Disisi lain sejumlah pemerhati hukum juga menilai tindakan ACC Finance dan para debt collector tersebut sebagai bentuk premanisme berkedok penagihan utang yang mencoreng citra industri pembiayaan.
Ancaman Hukum Bagi para pelaku pengeroyokan berpotensi dijerat dengan Pasal 18 ayat (1) UU No. 40/1999 tentang Pers, hukuman penjara maksimal 2 tahun atau denda Rp500 juta bagi pihak yang menghalangi atau menghambat kerja jurnalistik, Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan hukuman penjara hingga 5 tahun 6 bulan, Pasal 365 dan 368 KUHP jika terbukti melakukan perampasan atau pencurian saat penarikan kendaraan.
Sorotan Publik terhadap ACC Finance
Kasus ini memunculkan pertanyaan besar terhadap manajemen ACC Finance. publik menilai perusahaan harus bertanggung jawab atas tindakan oknum debt collector yang jelas-jelas bertindak di luar kewenangan hukum. Kegagalan perusahaan dalam mengawasi para penagih utang membuat citra ACC kian tercoreng.
Peristiwa pengeroyokan wartawan di Labuhan Batu hari ini menambah daftar panjang kasus kekerasan debt collector di Indonesia, selain mengancam kebebasan pers sebagai pilar keempat demokrasi kasus ini juga menjadi ujian serius bagi aparat penegak hukum untuk menunjukkan konsistensi dalam menindak pelaku pelanggaran hukum tanpa pandang bulu.